Aspek Hukum MIK dalam Implementasi Akreditasi JCI di Rumah Sakit — Seminar by APTIRMIK

Baiklah, blog ini sudah merajuk untuk disentuh. Sudah hampir setahun tak ada penambahan isi baru. Maka inilah tulisan pertama saya setelah vakum beberapa lama, di tahun 2013, tentang Rekam Medis (walaupun cuma sekilas berita).

aptirmikPada hari Selasa tanggal 19 Februari 2013 lalu saya berkesempatan mengikuti acara seminar nasional rekam medis dengan tema “Aspek Hukum MIK dalam Implementasi Akreditasi JCI di Rumah Sakit.” Seminar nasional yang bertempat di Balai Pamungkas Yogyakarta (sebelah timur Stadion Kridosono) ini diselenggarakan oleh Asosiasi Perguruan Tinggi Rekam Medis dan Manajemen Informasi Kesehatan (aptiRMIK) dengan kerjasama oleh D3 Rekam Medis SV-UGM dan D3 Rekam Medis Poltekes Permata Indonesia (PPI). Sebagai pemateri dalam seminar ini adalah dr. Sofwan Dahlan, Sp.F (K); dr. Rano Indradi Sudra, M.Kes.; dan HJ. Hosizah, SKM, MKM. Ketiga narasumber tersebut merupakan tokoh pemerhati RMIK di tanah air, dan salah satunya sudah sangat saya kenal kontribusinya serta kerap mengisi seminar sejenis.

Sebagai pemateri pada sesi pertama, dr. Sofwan Dahlan menyampaikan submateri dengan judul ‘Rekam Medis dan Aspek Hukumnya.’ Submateri ini menekankan rekam medis dalam fungsinya sebagai dokumen pada aspek hukum. Beliau mengupas tuntas tujuan, manfaat, dan kepemilikan dalam fungsi dokumen rekam medis. Problematika pemanfaatan dokumen rekam medis dalam aspek hukum juga beliau paparkan dengan kapasitas dan basis beliau sebagai pakar forensik medis. Dalam materi beliau saya terngiang salah satu konsep dasar kepemilikan dokumen medis: “Patient pays the treatment, not the record.” Doktrin ini menjadi dasar bahwa fisik dokumen rekam medis merupakan hak milik health-care provider, sedangkan pasien hanya berhak memiliki isinya. Yang patut disayangkan dalam materi beliau adalah tidak dijelaskannya aspek hukum rekam medis dalam bentuk elektronik. Padahal wacana tersebut belakangan kerap dibahas, terutama untuk mengimbangi perkembangan teknologi informasi yang semakin gencar.

Sesi kedua seminar diisi oleh dr. Rano Indradi Sudra. Pemerhati RMIK dan pemilik website www.ranocenter.net yang familiar di kalangan mahasiswa dan praktisi RMIK ini menyampaikan submateri dengan judul ‘Mutu RMIK dalam Implementasi Akreditasi JCI.’ Mutu RMIK yang beliau maksudkan dalam materi ini bukan hanya kualitas fisik dokumen rekam medis yang bagus, namun juga bagaimana isi dari rekam medis tersebut dapat menjamin keselamatan pasien di institusi pelayanan kesehatan. Aspek mutu itulah yang kemudian beliau hubungkan dengan Struktur Standar Akreditasi RS 2012 sebagai persiapan dalam implementasi akreditasi JCI. Seingat saya, beliau sangat menyoroti metode penyajian informasi RMIK sebagai salah satu indikator mutu RMIK yang baik. Beliau menyarankan metode ‘Dashboard’  dalam penyajian data RMIK, yaitu penyajian data rekam medis yang terpadu dengan pengolahan dan tampilan yang tepat. Dengan metode ini diharapkan pengambil keputusan di RS dapat melihat berbagai informasi penting dengan cepat, seperti halnya pengemudi melihat indikator kendaraan di dashboard mobil. Kesimpulan dari materi beliau, yaitu dibutuhkan komitmen, konsisten, dan kompeten dari setiap personel di RS untuk menuju mutu RMIK yang baik.

Sebagai pemateri pamungkas dan  penutup sesi seminar ini, ibu Hj. Hosizah, MKM. memaparkan isi presentasinya yang berjudul ‘Dukungan Pendidikan RMIK dalam Implementasi Akreditas JCI.’ Presentasi yang sangat pas oleh beliau dalam kompetensinya sebagai Ketua Umum aptiRMIK. Dalam penyampaiannya, Wakil Dekan FIK Universitas Esa Unggul Jakarta ini mencoba menggambarkan dukungan kurikulum institusi pendidikan RMIK pada proses implementasi akreditasi JCI. Ide beliau bahwa kurikulum institusi pendidikan RMIK di seluruh Indonesia bisa distandarkan, sehingga dapat memenuhi kualifikasi standar manajemen RMIK terkini, salah satunya proses akreditasi JCI ini. Namun entah mengapa saya melihat justru seluk beluk akreditasi JCI-lah yang memakan porsi terbesar dalam presentasi beliau. Sementara materi inti berupa dukungan institusi pendidikan RMIK justru hanya disinggung sekelumit dalam beberapa konklusi akhir.

Akreditasi JCI belakangan ini tengah dilirik oleh rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan di Indonesia. Tidak hanya RS swasta yang sudah lebih dulu merasakannya, RS milik pemerintah pun tak mau kalah ingin mencicipinya. Sebabnya, akreditasi JCI ini dapat meningkatkan nilai jual dan prestise RS dalam ‘persaingan’ penyedia layanan kesehatan, disamping manfaatnya dalam pembenahan manajemen RS. Pun sudah menjadi rahasia umum bahwa RS yang telah berhasil meraih akreditasi JCI, dapat ‘menjual’ pengalamannya kepada RS lain yang akan menerapkannya. Hal inilah sebenarnya yang menjadi motivasi saya untuk mengikuti seminar ini. Ekspektasi saya (dan teman-teman) sebagai praktisi RMIK di RS yang akan menerapkan akreditasi JCI, paling tidak dalam seminar ini saya bisa mendapat gambaran umum proses penerapannya di RS dan problematikanya. Namun harapan saya sedikit jauh dari kenyataan, karena seminar ini memang hanya menggambarkan sekelumit proses akreditasinya serta lebih memfokuskan pada aspek hukum dan pencapaian mutu standarnya. Tetapi dapat saya maklumi, karena mungkin seminar nasional ini hanya gimmick acara akbar aptiRMIK untuk mengumpulkan mahasiswa RMIK dari seluruh Indonesia.

Di luar semua pandangan saya terhadap isi seminar ini, rangkaian acara ini setidaknya merupakan awal yang baik dari aptiRMIK untuk mempelopori kebangkitan pendidikan RMIK di tanah air. Niat baik aptiRMIK untuk membangun dan mengembangkan kompetensi standar pada seluruh institusi pendidikan RMIK Indonesia patut kita acungi dua jempol. Harapan saya organisasi yang seumur jagung ini bisa turut membangun ‘kawah candradimuka akbar’ dunia RMIK Indonesia untuk melahirkan akademisi dan praktisi RMIK yang tidak hanya handal namun juga mengglobal.